Sunday, October 30, 2011

DIALOG SUNNI-SYIAH DALAM 'KEBENARAN YANG HILANG' OLEH SHEIKH MU'TASHIM SAYYID AHMAD


Dialog dengan Seorang Pemimpin Wahabi

Telah berlangsung dialog di antara saya dengan pemimpin mereka, yang bernama Ahmad Amin. Saya meminta kepadanya untuk menggunakan nalar dan meninggalkan kesemberonoan dan penyerangan yang tidak layak. Setelah merasa tidak tahan lagi, dan semakin bertambah kekeraskepalaan dan keta'asuban mereka, maka saya pun pergi ke mesjid mereka dan menunaikan salat Zuhur di belakang mereka. Setelah selesai salat Zuhur saya bertanya kepadanya, "Apakah saya pernah memprotes Anda selama ini dikarenakan Anda mengecam dan mengkafirkan Syi'ah melalui pengeras suara?!"

Dia menjawab, "Tidak."

Saya bertanya lagi, "Apakah Anda tahu sebabnya?"

Dia menjawab, "Tidak tahu."

Saya berkata, "Sesungguhnya perkataan Anda adalah penyerangan dan kebodohan, dan sekaligus penentangan terhadap pribadi saya. Saya takut memprotes Anda karena saya khawatir itu akan menjadi pembelaan bagi diri saya dan bukan pembelaan bagi kebenaran. Sekarang, saya minta kepada Anda untuk melakukan dialog ilmiah dan sistematis di hadapan semua yang hadir, sehingga tersingkap kebenaran."

Dia berkata, "Tidak ada halangan bagi saya."

Saya menjawab, "Jika begitu silahkan tentukan tema-tema yang akan didialogkan."
Dia berkata, "Penyimpangan Al-Qur'an dan keadilan sahabat."

Saya jawab, "Baik, namun ada dua perkara penting lainnya yang juga harus didialogkan, yaitu tentang sifat Allah dan tentang kenabian yang ada di dalam keyakinan riwayat Anda."
Dia menjawab, "Tidak!” 

Saya tanya, "Kenapa?"

Dia berkata, "Saya yang menentukan tema-tema dialog. Jika saya meminta dialog kepada Anda, maka baru Anda yang berhak menentukan tema-tema dialog."

Saya jawab, "Tidak masalah, kapan kita lakukan?"

Dia berkata, "Hari ini, setelah salat Magrib." Dia mengira saya akan takut dengan waktu yang dekat ini. Maka saya pun menunjukkan persetujuan saya dengan senang, dan kemudian meninggalkan mesjid.

Setelah menunaikan salat magrib dialog pun dimulai. Mulailah pemimpin mereka, Ahmad Amin —sebagaimana biasanya— menyerang dan mengecam Syi'ah dengan tuduhan bahwa Syi'ah meyakini adanya penyimpangan terhadap Al-Qur'an (tahrif Al-Qur'an), sambil memegang kitab al-Khuthuth al-'Aridhah (Garis-Garis Peringatan) karya Muhibbuddin di tangannya. Setelah dia selesai bicara, mulailah saya bicara. Saya bangkit menjawab semua tuduhan yang dilontarkannya itu secara rinci. Saya katakan, Syi'ah sama sekali berlepas diri dari keyakinan tahrif Al-Qur'an. Setelah itu saya katakan kepadanya, "Sebagaimana perkataan Nabi Isa as, 'Engkau melihat jerami yang ada di pelupuk mata orang namun engkau tidak melihat batang pohon yang ada di pelupuk matamu', sesungguhnya riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis Ahlul-Sunnah dengan jelas mengatakan adanya tahrif Al-Qur'an. Sehingga penisbahan keyakinan adanya tahrif Al-Qur'an kepada Ahlul-Sunnah jauh lebih dekat dari penisbah-annya kepada Syi'ah." Kemudian saya menyebutkan kurang lebih dua puluh riwayat, dengan disertai sumber dan nomer halamannya dari kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad dan kitab al-Itgan fi 'Ulum al-Qur'an, karya as-Suyuthi. Sebagai contoh,

Imam Ahmad bin Hanbal mengeluarkan di dalam Musnadnya, dari Ubay bin Ka'ab yang berkata, "Berapa ayat Anda membaca surat al-Ahzab?" Dijawab, "Sekitar tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan ayat." Ubay bin Ka'ab berkata, "Sungguh, saya telah membacanya bersama Rasulullah saw panjangnya seperti surat al-Baqarah, dan di dalamnya terdapat ayat rajam."[3]

Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, dengan bersanad dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa Umar bin Khattab telah berkata, "Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw dengan kebenaran dan telah menurunkan Al-Qur'an kepadanya. Di antara ayat-ayat yang diturankan oleh Allah itu ialah ayat rajam, yang kami telah membacanya, menghapalnya dan memahaminya. Oleh karena itu, Rasulullah saw melaksanakan hukum rajam, dan begitu juga kami sepeninggalnya. Sungguh aku khawatir jika jaman berlangsung lama atas manusia akan ada orang yang mengatakan, 'Demi Allah, kami tidak menemukan ayat rajam di dalam Kitab Allah', maka mereka pun menjadi sesat karena meninggalkan kewajiban yang telah diturunkan Allah..." Hingga Umar bin khattab mengatakan, "Begitu juga kami pernah membaca sebuah ayat di dalam Kitab Allah yang berbunyi,

'Janganlah kamu membenci bapak-bapakmu, karena yang demikian itu adalah kekufuran bagimu, dan sesungguhnya kekufuran bagimu ialah kamu membenci bapak-bapakmu."[4]

Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, "Perawi berkata, 'Abu Musa al-Asy'ari diutus menemui para pembaca Al-Qur'an dari penduduk Basrah, maka dia pun menemui tiga ratus orang yang baru selesai membaca Al-Qur'an. Abu Musa al Asy'ari berkata kepada mereka, 'Anda adalah sebaik-baiknya penduduk Basrah dan para pem-baca Al-Qur'an (qori) mereka, maka bacalah, dan janganlah Anda semua menunda-nunda sehingga hati Anda menjadi keras sebagaimana orang-orang sebelum Anda. Sungguh kami pernah membaca sebuah surat yang dari segi panjang dan kekerasannya serupa dengan surat al-Bara'ah, namun saya telah lupa dan hanya satu ayat saja yang masih saya hapal, yaitu 'Sekiranya seorang anak Adam mempunyai dua lembah harta nicaya dia akan mencari lembah yang ketiga, dan tidak ada yang memenuhi perut anak Adam kecuali tanah.' Begitu pula kami pernah membaca sebuah surat yang hampir sama dengan salah satu surat yang diawali dengan tasbih, namun kami telah lupa kecuali satu ayat darinya,

'Wahai orang-orang yang beriman, kenapa Anda mengatakan apa yang Anda tidak lakukan. Maka akan ditulis kesaksian pada leher-leher Anda, dan kelak Anda akan ditanya tentangnya pada hari kiamat. '"[5]

Pada saat saya menyebutkan riwayat-riwayat ini, saya lihat kedua mata Syeikh terbelalak, mulutnya ternganga, dan tampak sekali keheranan di wajahnya. Ketika saya berhenti bicara, dengan segera Syeikh berkata, "Saya belum pernah mendengar dan melihat riwayat-riwayat ini. Saya minta Anda menghadirkan kitab-kitab rujukan ini ke hadapan saya."

Saya jawab, "Baru saja Anda menyerang Syi'ah dan menuduhnya meyakini tahrif Al-Qur'an, kenapa Anda tidak menghadirkan kitab-kitab mereka yang belum pernah Anda lihat selama hidup Anda. Anda harus menghadirkan kitab-kitab rujukan Anda. Ini perpustakaan Anda, di dalamnya terdapat sahih Bukhari, sahih Muslim dan kitab-kitab hadis lainnya. Coba ambilkan kitab-kitab ini, sehinga saya tunjukkan riwayat-riwayat ini kepada Anda. Ketika dia tidak menemukan jalan keluar, dengan serta merta dia lari ke tema yang lain, yaitu bahwa Syi'ah meyakini konsep taqiyyah. Bagaimana kita dapat membenarkan perkataan mereka?!

Timbullah kegaduhan di kalangan hadirin, hingga akhirnya bangkit salah seorang dari mereka mengumandangkan azan Isya. Selesai mengerjakan salat kami sepakat untuk meneruskan dialog pada hari-hari yang akan datang, yaitu dengan cara memilih setiap harinya satu tema yang akan kami dialogkan. Keesokan harinya di waktu pagi saya tengah duduk di depan rumah saya, kemudian Syeikh itu lewat dan memberi salam kepada saya dengan penuh hormat seraya berkata, "Sesungguhnya pembahasan-pembahasan ini tidak dipahami oleh masyarakat umum, maka alangkah bagusnya jika kita berdialog secara khusus, antara saya dan Anda."

Saya menjawab, "Saya setuju, namun dengan syarat Anda harus menghentikan serangan kepada Syi'ah." Sejak saat itu saya tidak mendengar lagi dia menyerang Syi'ah.

BEBERAPA CATATAN YANG HARUS DIPERHATIKAN

Sebelum saya merekam beberapa pembahasan saya di dalam buku ini, saya ingin mengisyaratkan beberapa catatan yang dapat saya simpulkan dari pengalaman-pengalaman saya mengenai metode pembahasan.

1.    Yakin dan tawakkal kepada Allah SWT adalah merupakan titik tolak pembahasan. Allah SWT telah memberikan cahaya akal kepada manusia, dan menyerahkan urusan penggunaannya ke tangan manusia. Barangsiapa yang mengabaikan cahaya ini dan tidak menyalakannya untuk menyingkap kenyataan, niscaya dia akan hidup di dalam timbunan kebodohan, khurafat dan kesesatan. Berbeda dengan mereka yang menggunakan dan mengembangkan akalnya. Perbedaan di antara kedua kelompok ini kembali kepada satu sebab, yaitu yakin dan tidak yakin. Orang yang merasa lemah dan kalah, dia tidak akan memperoleh manfaat dari akalnya. Adapun orang yang yakin kepada Allah SWT dan kepada akal yang telah diberikan-Nya niscaya dia akan sampai kepada puncak pengetahuan dan peradaban. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menentang cara saya di dalam pembahasan, mereka menggunakan cara ini untuk melemahkan keyakinan diri saya. Mereka mengatakan, "Dari mana Anda mempunyai kemampuan untuk membahas masalah-masalah ini?! Sementara ulama-ulama besar kita belum sampai kepada apa yang yang Anda katakan. Apa kedudukan Anda di hadapan ulama-ulama besar?!" Dan hal-hal lain yang digunakan untuk menghancurkan keyakinan diri.

2.    Menjauhkan diri dari tindakan menipu diri. Dalam arti, mencegah merembesnya kebenaran ke dalam akal. Terkadang itu dilakukan dengan cara menutup diri terhadap kenyataan, sehingga menjadikan seseorang bersikap ta'assub dan tidak mau mendengarkan kata-kata dan pikiran orang lain, tidak mau membaca buku-buku, dan tidak mau bersikap terbuka terhadap keilmuan orang lain. Setiap seruan yang menyuruh kepada penutupan diri, dengan tidak melakukan pembahasan dan tidak mencari ilmu, maka seruan yang seperti ini adalah seruan yang ingin mempertebal kebodohan dan menjauhkan manusia dari kebenaran. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh orang-orang wahabi, yang melarang manusia membaca buku-buku Syi'ah, dan duduk serta berdiskusi dengan orang-orang Syi'ah, adalah cara yang lemah, dan merupakan logika yang tidak sehat. Al-Qur'an al-Karim telah mengecam cara berpikir yang seperti ini dengan firman-Nya, "Katakanlah, 'Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar." (QS. Al-Baqarah:111)

3.    Memperkuat keinginan dalam menghadapi gelombang syahwat dan tekanan masyarakat, yang mengelak dari setiap orang yang menentang dan membangkangnya. Seseorang harus menghadapi tekanan-tekanan ini dengan kesabaran dan kemauan kuat, karena kebenaran tidak terbentang mudah bagi masyarakat dan karakter manusia. Sejarah para nabi Allah telah menunjukan kepada kita betapa mereka mendapat berbagai macam siksaan yang sangat keras dari masyarakat mereka. Bani Israil telah membunuh tujuh puluh orang nabi dalam sehari. Allah SWT berfirman, "Dan tiada seorang nabipun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-oloknya." (QS. az-Zukhruf: 7)

4.    Di sana terdapat banyak hijab, yang terkadang menjadi penghalang tersingkapnya kebenaran. Kita harus memperhatikan dan mengawasinya sehingga kebenaran menjadi lebih jelas. Di antara hijab-hijab itu ialah:

a) Kecintaan terhadap diri. Ini merupakan seburuk-buruknya penyakit yang menimpa setiap manusia. Dari penyakit inilah terpantul seluruh sifat yang tercela, seperti hasud, dengki dan keras kepala. Ketika seorang manusia menjadikan pikiran dan keyakinanya sebagai bagian dari diri dan eksistensinya, sehingga meskipun pikiran dan keyakinannya itu merupakan sesuatu yang khurafat dia tidak mungkin mau menerima segala macam bentuk kritikan yang ditujukan kepadanya. Karena dia menganggap kritikan itu sebagai kritikan terhadap diri dan eksistensinya. Dengan insting mempertahankan diri dan kecintaan terhadapnya, dia akan berperang membela pikiran dan keyakinnya dengan tanpa kesadaran. Dan terkadang dia bersikap ta'asub terhadap sebuah pemikiran disebabkan pemikiran itu menda-tangkan manfaat baginya atau menolak bahaya darinya. Oleh karena itu, dia akan sekuat tenaga membelanya dan menolak segala macam bentuk pemikiran yang lain, meskipun kebenarannya tampak jelas di hadapan matanya. Atau, terkadang juga dia menyukai sebuah pemikiran karena pemikiran itu sejalan dengan hawa nafsunya atau hawa nafsu masyarakatnya, sehingga dia tidak akan mau surut darinya.

b) Kecintaan terhadap nenek moyang. Kecintaan ini mendorong manusia mengikuti mereka dengan tanpa didasarkan kepada pemikiran dan perenungan. Karena dorongan penghormatan dan rasa takut, disamping pendidikan, seseorang tunduk dan menyerah secara mutlak kepada pemikiran dan keyakinan nenek moyang mereka. Ini merupakan salah satu hijab terbesar yang menghalangi manusia untuk bisa menyingkap kebenaran.

c) Kecintaan kepada salaf. Pandangan mengkultuskan para ulama dan orang-orang besar terdahulu, menuntun manusia untuk bertaklid kepada mereka secara mutlak dan bersandar kepada pemikiran-pemikirannya. Ketundukan yang seperti ini merupakan pendorong bagi manusia untuk menyimpang dari kebenaran. Allah tidak menjadikan akal mereka sebagai hujjah bagi kita, melainkan justru akal seluruh manusia sebagai hujjah baginya. Penghormatan kita kepada mereka tidak melarang kita untuk mendiskusikan dan mengkaji pemikiran-pemikiran mereka, supaya kita tidak termasuk ke dalam kelompok orang yang dikatakan oleh Allah SWT, "Dan mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.'" (QS.al-Ahzab: 67)

d) Salah satu faktor lain yang mendorong manusia jatuh pada kesalahan ialah ketergesa-gesaan. Ketergesa-gesaan ini buah dari senang kepada kemudahan. Dengan tanpa mau bersusah payah dirinya di dalam pembahasan dan penyelidikan, ia ingin mengeluarkan hukum sedini mungkin. Barangsiapa yang menginginkan kebenaran maka dia harus memaksa dirinya untuk bekerja keras di dalam melakukan pembahasan.

Dan begitu juga catatan-catatan ilmiah lainnya yang mau tidak mau harus diletakkan oleh seorang pembahas di hadapan kedua matanya sebelum mulai melakukan pembahasan. Ini pun harus disertai dengan penerimaan total manakala kebenaran itu muncul. Di samping juga memohon pertolongan kepada Allah SWT supaya Dia menerangi hati Anda dengan cahaya kebenaran. "Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu kebenaran dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kebatilan itu kebatilan dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk menjauhinya." (Hadis)

********************************************************************************************
Dialog Dengan Muhaddis Dan Hafidz Kota Damaskus, Abdul Qadir al-Arnauthi
Selama saya tinggal di Syiria saya bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al-Arnauthi, salah seorang ulama Syiria. Dia mempunyai ijazah di dalam ilmu hadis.
Pertemuan ini berlangsung dengan tanpa persiapan dari saya, melainkan terjadi dengan kebetulan.

Saya mempunyai seorang teman dari Sudan yang bernama Adil. Saya mengenalnya di kawasan Sayyidah Zainab as, dan Allah SWT telah menerangi hatinya dengan cahaya Ahlul Bait as. Teman saya ini memiliki sifat-sifat terpuji yang jarang ditemukan pada yang lainnya. Dia seorang yang berakhlak, taat beragama dan warak. Keadaan telah memaksanya untuk bekerja di sebuah ladang di kawasan yang ber-nama "Adliyyah", kurang lebih berjarak sembilan kilometer sebelah selatan kawasan Sayyidah Zainab as. Di sebelah ladang tempat dia bekerja terdapat ladang lain milik seorang laki-laki tua yang dipanggil dengan sebutan Abu Sulaiman.
Ketika tetangga ini tahu bahwa orang Sudan yang bekerja di ladang sebelahnya itu orang Syi'ah, dia datang dan berbicara kepadanya. Tetangga itu berkata,

"Wahai saudaraku, orang-orang Sudan itu orang Ahlus Sunnah yang baik, lantas dari mana kamu menjadi Syi'ah?! Apakah di keluargamu ada orang yang bermazhab Syi'ah?"

Adil menjawab, "Tidak, namun agama dan keyakinan tidak dibangun di atas dasar taklid kepada masyarakat dan keluarga."

Tetangga itu berkata, "Sesungguhnya Syi'ah menipu dan membohongi masyarakat."
Adil menjawab, "Saya tidak melihat yang demikian itu dari mereka."

Tetangga itu berkata lagi, "Benar, kami mengenal mereka dengan baik."

Adil berkata, "Wahai haji, apakah Anda percaya pada Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab sahih yang enam?"

Tetangga itu menjawab, "Tentu."

Adil berkata lagi, "Sesungguhnya Syi'ah berargumentasi atas berbagai keyakinan yang mereka yakini dengan menggunakan sumber-sumber ini, apalagi sumber-sumber mereka."

Tetangga itu berkata, "Mereka itu berdusta. Mereka mempunyai sahih Bukhari dan Muslim yang telah diselewengkan."

Adil menjawab, "Mereka tidak mengharuskan saya dengan kitab tertentu, melainkan mereka meminta saya untuk mencarinya di perpustakaan manapun di dunia Arab."

Tetangga itu berkata, "Ini bohong, saya wajib mengembalikan Anda ke dalam Ahlus Sunnah. Karena Rasulullah saw telah bersabda, "Jika Allah memberikan petunjuk kepada seorang laki-laki dengan perantaraanmu, maka yang demikian itu lebih baik bagimu dibandingkan seluruh dunia dan isinya."

Adil berkata, "Kita ini pencari kebenaran dan petunjuk, kita akan condong bersama argumentasi ke mana pun argumentasi itu condong."

Tetangga itu berkata, "Saya akan mendatangkan kepadamu ulama terbesar di kota Damaskus. Yaitu 'Allamah Abdul Qadir ar-Arnauti, seorang ulama terpandang dan ahli hadis yang hafal Al-Qur'an. Orang-orang Syi'ah telah berusaha membujuknya dengan uang berjuta-juta supaya dia bersama mereka, namun dia menolaknya."

Teman saya Adil menyetujui rencana ini. Abu Sulaiman berkata kepadanya, "Janji kita pada hari Senin, Anda dan orang-orang Sudan lainnya yang terpengaruh pikiran Syi'ah silahkan datang." Adil datang kepada saya. Dia mengabarkan apa yang telah terjadi, dan meminta saya untuk pergi bersamanya. Dengan sangat senang saya menerima tawaran itu. Saya janji akan pergi bersamanya pada hari Senin tanggal 8 Safar 1417 Hijrah, tepat jam 12 siang.

Hari itu adalah hari yang sangat panas. Kami berkumpul di tempat yang telah dijanjikan, dan kemudian kami bertolak ke ladang bersama tiga orang Sudan lainnya. Setelah kami sampai, teman kami Adil menyambut kami di ladang yang hijau yang dipenuhi dengan berbagai pohon buah-buahan, seperti murbei, persik, apel dan buah-buahan lainnya yang tidak terdapat di negara kami, Sudan.

Setelah itu kami pun tergesa-gesa menuju ladang tetangganya yang Ahlus Sunnah itu. Tetangga itu menyambut kedatangan kami dengan kasar. Setelah beristirahat sejenak di tempat yang dikelilingi sayur-sayuran itu, saya berdiri untuk mengerjakan salat Zuhur. Pada saat saya mengerjakan salat Zuhur tibalah rombongan yang membawa Syeikh ar-Arnauthi. Ruangan bangunan telah dipenuhi oleh manusia sementara bagian luarnya telah dipenuhi oleh mobil. Kebingungan melanda wajah teman-teman saya, dikarenakan kedudukan yang sedemikian tingginya. Karena mereka tidak mengira urusan ini sedemikian besarnya. Setelah masing-masing menempati tempatnya, saya memilih tempat di sebelah Syeikh.

Setelah berlangsung acara perkenalan di antara semua, pemilik ladang berkata kepada Syeikh, "Mereka ini adalah saudara-saudara kita dari Sudan. Mereka telah terpengaruh Syi'ah di kawasaan Sayyidah Zainab. Di antara mereka ada seorang Syi'ah yang bekerja di ladang sebelah kami."

Syeikh itu bertanya, "Mana yang Syi'ah itu?"

Mereka menjawab, "Pergi ke ladangnya, dan nanti akan kembali tidak lama lagi."

Syeikh berkata, "Kalau begitu kita tunda pembicaraan kita hingga dia kembali."

Salah seorang Sudan pergi mencarinya dan kemudian membawanya ke majlis. Syeikh memanfaatkan kesempatan ini untuk membacakan banyak hadis yang dia hafal di luar kepala. Adapun tema hadis-hadis yang dibacakannya itu ialah berkenaan dengan keutamaan sebagian negeri atas sebagian negeri yang lain, khususnya yang berkenaan dengan negeri Syiria dan kota Damaskus. Tema ini telah memakan waktu sekitar setengah jam. Sebuah tema yang tidak ada faidahnya. Saya sangat heran kenapa dia tidak memanfaatkan kesempatan ini, padahal semua yang hadir telah menajamkan pikiran mereka untuk mendengarkan hadis yang dapat mereka manfaatkan di dalam agama dan dunia mereka. Kemudian dia berkata, "Sesungguhnya agama Allah tidak diambil berdasarkan nasab dan keturunan. Allah SWT telah menjadikan agamanya untuk semua manusia, lalu dengan hak apa kita mengambil agama kita dari Ahlul Bait?! Rasulullah saw telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada Kitab Allah dan sunahnya. Hadis ini adalah hadis yang sahih yang tidak ada seorang pun yang mampu mendhaifkannya, dan tidak ada jalan lain selain jalan ini." Kemudian dia menepukkan tangannya ke punggung Adil sambil berkata kepadanya, "Wahai anakku, jangan sampai perkataan Syi'ah dapat menipumu."

Saya memotong pembicaraannya dengan mengatakan, "Yang mulia Syeikh, kami adalah pencari kebenaran, dan kini perkara telah bercampur sedemikian rupa sehingga membingungkan kami. Oleh karena itu, kami datang kepada Anda supaya dapat mengambil manfaat dari Anda manakala kami mengetahui Anda seorang ulama besar, ahli hadis dan hafidz."

Syeikh itu menjawab, "Itu benar."

Saya berkata lagi, "Sudah merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa kaum Muslimin telah terbagi ke dalam beberapa golongan dan mazhab, dan masing-masing golongan mengklaim bahwa dirinyalah yang benar sementara yang lainnya salah. Apa yang harus saya lakukan sementara saya diwajibkan oleh agama Allah untuk mengetahui kebenaran di antara jalan-jalan yang saling bertentangan itu?! Apakah Allah menghendaki kita berpecah-belah atau menginginkan kita berada pada satu agama, yaitu kita menyembah Allah dengan agama yang satu?! Jika ya, lantas jaminan apa yang telah ditinggalkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kita supaya umat terjaga dari kesesatan?

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perselisihan pertama yang terjadi di antara kaum Muslimin adalah perselisihan yang terjadi secara langsung setelah Rasulullah saw wafat, padahal Rasulullah saw tidak mungkin meninggalkan umatnya tanpa ada petunjuk."

Syeikh berkata, "Sesungguhnya jaminan yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah saw untuk mencegah umat dari perselisihan ialah sabdanya yang berbunyi, "Sesungguhnya aku tinggalkan sesuatu padamu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunah."

Saya berkata, "Beberapa saat yang lalu Anda menyebutkan terkadang ada sebuah hadis yang tidak ada sumbernya, artinya tidak disebut di dalam kitab-kitab hadis."

Syeikh menjawab, "Itu benar."

Saya katakan kepadanya, "Hadis ini tidak memiliki sumber di dalam kitab-kitab sahih yang enam, lantas kenapa Anda menyebutkannya, sementara Anda seorang muhaddis?"

Di sini, bangkitlah kemarahan Syeikh, lalu dia berteriak lantang, "Apa yang Anda maksud, apakah Anda ingin mendhaifkan hadis ini."

Saya merasa heran kenapa Syeikh sedemikian marah padahal saya tidak mengatakan apa-apa.

Saya berkata, "Sabar, sesungguhnya pertanyaan saya hanya satu, yaitu apakah hadis ini terdapat di dalam kitab sahih yang enam?"

Syeikh itu menjawab, "Kitab sahih itu tidak hanya enam. Kitab hadis itu banyak sekali. Hadis ini terdapat di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik."

Saya berkata dengan menghadap kepada para hadirin, "Baik, Syeikh telah mengakui bahwa hadis ini tidak terdapat di dalam kitab-kitab sahih yang enam, dan hanya terdapat di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik."

Dengan nada tinggi dia memotong pembicaraan saya dengan mengatakan, "Lalu, apakah kitab al-Muwaththa bukan kitab hadis?"

Saya menjawab, "Kitab al-Muwaththa kitab hadis, namun hadis 'Kitab Allah dan sunahku' adalah marfu' dengan tanpa sanad, padahal diketahui bahwa semua hadis yang terdapat di dalam kitab al-Muwaththa bersanad."

Di sini Syeikh berteriak setelah hujjahnya patah. Dia mulai memukul saya dengan tangannya dan menggerak-gerakkan tubuh saya ke kanan dan ke kiri sambil berkata, "Anda ingin mendhaifkan hadis ini, padahal Anda ini siapa sehingga hendak mendhaifkannya." Dia tidak dapat mengontrol emosinya sehingga tindak tanduknya telah keluar dari batas-batas yang wajar. Seluruh orang yang hadir merasa heran dengan gerak dan tingkah lakunya.

Saya berkata, "Ya Syeikh, di sini tempat diskusi dan dalil, dan cara ini tidak layak untuk diikuti. Saya telah duduk dengan banyak ulama Syi'ah namun saya tidak pernah melihat sama sekali cara yang seperti ini." Allah SWT berfirman, 'Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.' Setelah itu, dia sedikit reda dari kemarahannya.

Saya berkata, "Ya Syeikh, saya bertanya kepada Anda apakah riwayat Malik terhadap hadis "Kitab Allah dan sunahku" di dalam kitab al-Muwaththa itu dhaif atau sahih?!"
Dengan penuh berat hati Syeikh menjawab, "Dhaif."

Saya berkata, "Jika demikian, kenapa Anda mengatakan hadis tersebut ada di dalam kitab al-Muwaththa padahal Anda tahu hadis tersebut dhaif?"

Dengan nada tinggi Syeikh menjawab, "Sesungguhnya hadis tersebut mempunyai jalan-jalan yang lain."

Saya berkata kepada para orang-orang yang hadir, "Syeikh telah melepaskan riwayat al-Muwaththa, dan mengatakan bahwa hadis ini mempunyai jalan-jalan yang lain, maka marilah kita mendengarkan jalan-jalan itu darinya."

Di sini Syeikh merasa malu, karena sebenarnya tidak ada jalan yang sahih yang dimiliki hadis ini. Pada saat itu tiba-tiba salah seorang hadirin yang duduk berbicara, lalu Syeikh menepuk saya dan berkata sambil menunjuk kepada orang yang bicara, "Dengarkan dia." Saya tahu dia ingin lari dari pertanyaan sulit yang saya lontarkan kepadanya. Saya merasakan itu darinya, namun saya tetap bersikeras dan berkata, "Ya Syeikh, sebutkanlah kepada kami jalan-jalan lain yang dimiliki hadis ini?"

Dengan nada putus asa Syeikh menjawab, "Saya tidak hapal, dan saya akan menuliskannya untuk Anda."

Saya berkata, "Subhanallah! Anda hapal seluruh hadis-hadis ini, hadis-hadis tentang keutamaan negeri-negeri, namun tidak hapal jalan hadis terpenting yang merupakan pilar utama mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menjaga umat dari kesesatan, sebagaimana yang telah Anda katakan." Mendengar itu Syeikh terdiam seribu bahasa.

Ketika para hadirin merasakan rasa malu Syeikh, salah seorang dari mereka berkata kepada saya, "Apa yang Anda inginkan dari Syeikh, padahal Syeikh telah berjanji akan menuliskannya untuk Anda."

Saya berkata, "Saya akan coba dekatkan jalan untuk Anda. Sesungguhnya hadis ini juga terdapat di dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam dengan tanpa sanad."

Syeikh al-Arnauthi berkata, "Sirah Ibnu Hisyam adalah kitab sejarah, bukan kitab hadis."

Saya berkata, "Kalau begitu berarti Anda mendhaifkan riwayat ini."

Syeikh al-Arnauthi menjawab, "Ya."

Saya berkata, "Anda telah membantu saya menyelesaikan diskusi ini."

Kemudian saya meneruskan perkataan saya dengan mengatakan, "Hadis ini juga terdapat di dalam kitab al-llma' karya Qadhi 'lyadh, dan kitab al-Faqih al-Mutafaqqih karya Khatib al-Bagdadi, apakah Anda mengambil riwayat-riwayat ini?"

Syeikh menjawab, “Tidak”.

Saya berkata, "Jika demikian, maka hadis "Kitab Allah dan sunahku" itu dhaif menurut kesaksian Syeikh, dan tidak ada jaminan lain di hadapan kita kecuali satu jaminan yang akan mencegah umat dari perselisihan, yaitu hadis mutawatir dari Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah dan kitab-kitab sahih yang enam selain Bukhari, yaitu sabda Rasulullah saw yang berbunyi,

"Aku meninggalkan dua perkara yang sangat berharga, yang jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali yang terbentang di antara langit dan bumi, dan 'ltrah Ahlul Baitku. Sesungguhnya Zat Yang Maha Mengetahui telah memberitahukanku bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga mendatangiku di telaga," Sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Ahmad bin Hambal. Tidak ada alternatif lain bagi seorang Mukmin yang menginginkan Islam sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya selain dari jalan ini. Yaitu jalan Ahlul Bait yang mereka telah disucikan di dalam Al-Qur'an al-Karim dari segala dosa dan kotoran. Dan kemudian saya menyebutkan sekumpulan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait as. Tidak sebagaimana biasanya, Syeikh terdiam tidak mengatakan satu patah kata pun selama saya berbicara.

Ketika murid-murid Syeikh melihat kekalahan di wajah gurunya, mereka pun membuat kegaduhan dengan berteriak-teriak.

Saya berkata, "Sungguh merupakan dajjal, kemunafikan dan penghindaran dari kebenaran. Sampai kapan pengingkaran ini akan terus berlangsung?! Kebenaran jelas ayat-ayatnya, tampak kelihatan penjelasan-penjelasannya, dan saya telah menegakkan hujjah atas Anda bahwa tidak ada agama selain dari Kitab Allah dan 'ltrah Rasululah saw yang suci."

Syeikh diam dan tidak membantah sedikit pun apa yang saya katakan. Tiba-tiba dia berdiri sambil berkata, "Saya ingin pergi, saya punya tugas mengajar", padahal dia tahu dia diundang untuk makan siang!!

Tuan rumah memaksa dia untuk tetap tinggal, dan setelah makanan disajikan suasana majlis pun menjadi tenang, dan Syeikh tidak mengatakan sepatah kata apa pun selama menyantap makanan, padahal sebelumnya dia yang menguasai majlis dan pembicaraan.

Demikianlah nasib setiap orang yang menghindari dan menyembunyikan kebenaran. Mau tidak mau pasti akan tersingkap di hadapan orang banyak.

1 comment:

  1. Insyaallah,satu pijakan yang harus dipegang teguh: gunakan pendengaran,penglihatan dan hati untuk tabayyun dari dua sisi,jangan pakai emosi dan prasangka,niscaya diperoleh kesimpulan yang benar.

    ReplyDelete